Selasa, 30 Januari 2018

WIDODO’s SMOKE AND MIRRORS HIDE HARD TRUTHS - (Translated)


Dengan difasilitasi oleh media yang sebagian besar tidak (perlu) dipertanyakan (kredibilatasnya), pemerintahan Presiden Indonesia Joko Widodo telah menjadi master dalam permainan asap dan cermin, yang dalam bentuknya yang sederhana adalah tentang meyakinkan masyarakat bahwa segala sesuatunya terjadi saat sesungguhnya tidak terjadi (apa-apa).

Perundingan yang berlarut-larut dengan raksasa pertambangan AS Freeport McMoran Copper & Gold adalah contoh yang bagus. Namun kembali ke masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, permainan yang menipu telah mencakup segala hal mulai dari daging sapi sampai sumber daya alam hingga infrastruktur.

Meskipun bukan hal baru, secara resmi (tujuan dari) kebingungan dan “hiasan” kebenaran telah menjadi lebih jelas adalah (terkait) pileg dan pilpres 2019. Presiden Joko Widodo dan para mastermind istananya melihat adanya keperluan untuk menampilkan prestasinya.


Presiden SBY pernah memainkan permainan ini pada pertengahan tahun 2011 ketika pemerintah Australia menangguhkan ekspor ternak langsung ke Indonesia mengenai masalah perlakuan-hewan, dan Jakarta memutuskan suatu tindakan balasan dengan memerintahkan pelarangan impornya sendiri.

Kebijakan yang dilakukan Presiden Jokowi, dalam dua tahun (direncanakan) akan mengurangi impor sapi setengahnya dan (Pemerintah) berusaha meyakinkan konsumen bahwa industri lokal dapat mengisi kesenjangan saat harga naik - dan (masih) sebagai salah satu negara dengan tingkat konsumsi daging per kapita terendah di Asia - jelas hal tersebut menunjukkan hal yang tidak mungkin.
Melaju jauh ke proyek rel kereta cepat Jakarta-Bandung senilai US $ 5,8 miliar yang di back-up oleh China. Proyek ini pernah dilihat sebagai contoh program infrastruktur ambisius Presiden Joko Widodo dan sekarang terhenti karena masalah pembebasan lahan yang seharusnya sudah dapat diperkirakan.

Langsung memulai proyek itu, bukan karena intuk mencoba. Presiden Joko Widodo menghadiri upacara peletakan batu pertama pada bulan Januari 2016, hanya untuk melihat Menteri Transportasi Jonan Ignasius menghentikan proyek tersebut lima hari kemudian karena beberapa "masalah yang belum terselesaikan".

Presiden Joko Widodo dan China tidak Senang. Pada bulan Juli, bulan yang sama saat izin konstruksi untuk proyek tersebut akhirnya dikeluarkan, Ignasius (Jonan, Mantan CEO PT. Kareta Api Indonesia)- dipecat begitu saja.

Presiden seharusnya sudah mengambil pelajaran serupa. Pada pertengahan 2015, dia telah memimpin ground-breaking pembangkit listrik Batang-yang didanai Jepang di Jawa Tengah senilai $ 4 miliar, hanya untuk berhadapan dengan petani setempat yang masih menolak untuk menjual tanahnya.

Pengadilan akhirnya memutuskan permasalan kereta api, namun proyek kereta api cepat tersebut tetap tidak berjalan baik, meski ada upaya Menteri Negara BUMN Rini Soemarno, yang baru saja tampil Juli lalu untuk mengadakan ground breaking lainnya - yang satu ini merupakan terowongan. –(cek tirto, proyek mangkrak, biaya membengkak, cz52)

Akan tetapi, dibutuhkan banyak hal untuk mengalahkan keseluruhan kisah (saga) Freeport, yang dimulai dengan kesepakatan kerangka kerja tahun lalu, yang pada saat itu merupakan kemenangan besar bagi pemerintah Presiden Joko Widodo dalam memaksa perusahaan tersebut untuk menyetujui divestasi 51% sahamnya di anak perusahaannya.

Mungkin begitu, tapi sepertinya tidak ada yang memperhatikan bahwa celah (iblis) itu ada di cetakan kecil. Sebenarnya, media Indonesia gagal menunjukkan bahwa pada saat itu pertanyaan maha penting mengenai penilaian dan pengendalian manajemen belum diselesaikan.

Sedikit mengejutkan kemudian bahwa negosiasi berlanjut, diselingi sering kali dengan pernyataan meyakinkan oleh pejabat senior pemerintah bahwa kesepakatan final akhir sudah mengerucut. Kerucut yang sangat panjang.

Sejauh ini, setidaknya ada empat tenggat waktu yang diberlakukan pemerintah, semuanya didasarkan pada perpanjangan izin Freeport yang memungkinkannya untuk terus mengekspor konsentrat tembaga dari tambang Grasberg, di Dataran Tinggi Papua. Yang berikutnya adalah di bulan Juni.

Menolak izin tersebut jelas tidak hanya akan menggerus keuntungan perusahaan, tetapi juga akan memotong secara mendalam pendapatan pemerintah. Dan mungkin yang lebih penting, menyebabkan PHK pekerja yang dapat memicu kerusuhan di wilayah Papua yang saat ini sudah tidak stabil.

Dalam pertunjukan dan tayangan terakhir, pemerintah minggu lalu secara seremonial menandatangani sebuah nota kesepahaman dimana mereka akan menyerahkan 10% saham Freeport Indonesia yang masih harus diperoleh ke pemerintah provinsi Papua.

Perputaran mesin pemerintah juga baru-baru ini beralih ke proyek gas alam Marsela di Indonesia bagian timur, yang untuk beberapa alasan, bahkan beberapa politisi senior Indonesia tidak dapat membayangkannya, Presiden Joko Widodo ingin mengembangkan di sebuah pulau terpencil yang jarang dihuni.

Mitra usaha patungan Inpex dan Shell telah meninggalkan jejak mereka, dengan alasan bahwa hanya fasilitas lepas pantai yang masuk akal, mengingat medan di bawah laut dan kurangnya infrastruktur yang ada.

Dengan proyek yang seolah nampak terlupakan, pemerintah mengumumkan awal bulan ini bahwa para mitra tersebut sedang mengerjakan rencana terperinci untuk pabrik darat yang akan selesai pada akhir tahun ini. Meskipun , tidak ada pernyataan apapun dari perusahaan terkait.

"Pejabat tersebut berbicara atas nama perusahaan, tanpa perusahaan mengetahui apapun tentang hal itu," kata seorang veteran minyak Indonesia. "Itu politik, tapi bagi saya sebagai industrialis, ini sangat mengganggu."

Perusahaan minyak Raksasa Prancis, Total juga memperlihatkan sikap diam yang sama sejak perusahaan minyak Pertamina yang dikelola negara, mengklaim bahwa Pertamina ingin kembali ke (blok) ladang gas Mahakam, yang harus ditinggalkan Total ketika kontraknya berakhir pada Desember 2017 lalu.

Sebenarnya, dengan sedikit uang untuk mempertahankan Blok Mahakam, pemerintahlah yang telah menawarkan Total bunga partisipasi 39% yang sedikit lebih tinggi untuk menariknya kembali sebagai mitra di lapangan selama lebih dari 40 tahun.

Presiden Joko Widodo juga mengadopsi “politik” Sapi Presiden SBY, yang merupakan bagian dari program swasembada ekonomi di mana dengan sedikit perencanaan dan banyak angan-angan, Indonesia berharap bisa menghasilkan semua daging sapi, nasi, gula, jagung dan kedelai sendiri.

Pada tahun 2015, dengan bangga diumumkan bahwa proporsi impor daging sapi terhadap total konsumsi turun dari 31% menjadi 24%, tanpa ada yang mencatat bahwa orang Indonesia hanya makan 2,7 kilogram per tahun, tingkat per kapita terendah di wilayah ini.

Setahun kemudian, angka tersebut telah meningkat kembali menjadi 32% dan tahun lalu meningkat lagi menjadi 41% dengan harga daging sapi sebesar US $ 10 per kilogram dan pejabat mengetahui dengan jelas, bahwa target swasembada Presiden Joko Widodo selama lima tahun ini tidaklah mungkin tercapai.

Sekali lagi, berikut masih berhubungan erat dengan masalah itu. Dengan mengimpor beras, terlihat mirip sebagai kejahatan oleh beberapa kalangan nasionalis, pemerintah masa lalu sering dipaksa untuk mengakui (jika ada yang mendengarkan) bahwa pencapaian swasembada beras Indonesia hanyalah mitos belaka.

Itu akan bergulir ke dalam kuburan mantan Presiden Soeharto, yang berhasil mencapai swasembada beras pada awal tahun 1980an dengan perencanaan yang matang dan sejumlah program terkoordinasi.
Cepat atau lambat, asap akan hilang dan cermin pasti akan terangkat untuk mengungkapkan realitas yang sulit.


Translated - Source
John Mc Beth
http://www.atimes.com/article/widodos-smoke-mirrors-hide-hard-truths/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar